
Pernyataan dari Pdt. John MacArthur dan staf pastoral Grace Community Church
Pengantar
Kami menerima banyak permintaan dari para pemimpin gereja dari seluruh dunia yang meminta nasihat saat mereka menghadapi perintah lockdown sehubungan dengan COVID-19 dan pembatasan lain yang diamanatkan oleh pemerintah. Ini adalah catatan singkat tentang bagaimana gereja kami menanggapi upaya pemerintah untuk menghalangi jemaat kami untuk berkumpul, suatu indeks dari beberapa hal yang kami telah pelajari, dan beberapa prinsip penting dari Alkitab yang perlu untuk diingat saat Anda dan gereja Anda harus menanggapi secara Alkitabiah.
Kami yakin bahwa pelanggaran pemerintah terhadap kebebasan dasar manusia merupakan ancaman yang lebih menakutkan bagi individu, menjadi satu hambatan yang lebih besar bagi pekerjaan gereja, dan bencana yang lebih besar bagi semua lapisan masyarakat dibandingkan dengan wabah penyakit atau bencana alam. Ini adalah masa yang sulit yang membutuhkan tanggapan yang bijaksana, Alkitabiah, dan bijaksana dari para pemimpin gereja dan jemaat mereka.
Sejarah Singkat
COVID-19 mulai menjadi isu utama internasional di awal tahun 2020, dan pada pertengahan bulan Maret, pemerintah negara bagian dan pemerintah lokal di seluruh Amerika mengeluarkan perintah darurat yang membatasi perkumpulan-perkumpulan yang melibatkan banyak orang. Pada saat itu, pejabat kesehatan memperingatkan bahwa COVID dapat menyebabkan gelombang kematian dan bencana yang menempati peringkat tinggi setara dengan epidemi flu Spanyol 1918 dan Wabah Hitam di Eropa di abad ke-14. Sumber media utama1 melaporkan bahwa orang-orang benar-benar sekarat di jalanan di China. Satu laporan menampilkan kamar mayat di kota New York di mana jenazah ditumpuk-tumpuk seperti kayu bakar. Tentu saja, cerita seperti ini menimbulkan ketakutan besar di masyarakat.
Pada pertengahan bulan Maret, warga California ditetapkan untuk wajib lockdown di seluruh negara bagian. Awalnya, pejabat kesehatan pemerintah menyatakan mereka berharap hanya perlu dua minggu karantina (“lima belas hari untuk memperlambat penyebaran”). Tujuan awalnya adalah bukan untuk menghilangkan virus secara total (ahli epidemiologi sudah tahu bahwa itu tidak mungkin terjadi), tetapi untuk memastikan bahwa rumah sakit tidak kewalahan sampai lebih banyak fasilitas perawatan dapat dibangun. Karena tingkat keparahan yang sesungguhnya dari ancaman ini masih belum dapat diketahui dan waktu karantina rencananya cukup singkat, para penatua Gereja Grace (Grace Church) memutuskan untuk menghentikan kebaktian secara fisik sementara melanjutkan siaran langsung khotbah secara online dari mimbar di auditorium Worship Center2.
Lebih dari enam minggu berlalu tanpa ada tanda-tanda bahwa karantina dari pemerintah akan berakhir. Sementara laporan dari media dan prediksi dari departemen kesehatan terus terdengar parah, dampak sebenarnya dari virus di jemaat kami sendiri hanya sedikit lebih parah dari flu tahunan. Jumlah jemaat yang dites positif COVID-19 relatif sedikit, dan mereka yang positif biasanya kembali pulih dengan cepat. Segera menjadi semakin jelas (dan statistik CDC membuktikannya) bahwa orang sehat berusia lima puluhan atau lebih muda tidak berada dalam bahaya kematian dari penyebaran COVID-19.
Pada pertengahan bulan Mei, sebagian besar jemaat mulai secara spontan hadir di kebaktian Minggu pagi. Auditorium terisi penuh pada awal bulan Juni. Hampir tidak ada orang yang datang mengenakan masker, dan karena keterbatasan ruang di kampus gereja, menjaga jarak sosial (social distancing) tidak bisa dijalankan. Jadi pejabat kesehatan daerah meningkatkan upaya mereka untuk menutup pintu Gereja Grace terhadap jemaat. Pada tanggal 24 Juli, dihadapkan dengan mandat darurat baru yang ditujukan khusus untuk memperketat pembatasan gereja, para penatua Gereja Grace mengeluarkan pernyataan, “Kristus, Bukan Kaisar, Adalah Kepala Gereja." Pernyataan itu memberikan penjelasan singkat secara Alkitabiah mengapa gereja harus berkumpul, dan menyimpulkan, “Kami tidak boleh menerima dan tidak akan tunduk pada pembatasan yang mengganggu yang sekarang ingin diterapkan oleh pejabat pemerintah terhadap jemaat kami.”
Sebagai akibatnya adalah dimulainya kasus pengadilan yang berkepanjangan di mana gereja berposisi bahwa pemerintah tidak memiliki wewenang hukum untuk memaksakan suatu penutupan untuk jangka panjang pada tempat-tempat ibadah. Hampir tepatnya setahun setelah pernyataan para penatua diterbitkan, kasus pengadilan diselesaikan dengan kemenangan untuk pihak gereja, dengan demikian membenarkan sikap yang diambil oleh Gereja Grace.
Tindakan yang kami ambil mencerminkan keyakinan Alkitabiah kami yang tidak berkompromi bahwa kami tidak boleh memberikan kepada kaisar apa yang menjadi hak Allah. Tuhan tidak memberikan kepada pemerintah wewenang apa pun untuk mengatur syarat dan tata ibadah gereja. Hak istimewa itu hanya milik Kristus.
Berikut ini adalah tuturan singkat dari beberapa fakta tentang COVID yang meyakinkan kami bahwa virus ini, walaupun tidak bisa dianggap remeh, bukan berarti menjadi satu ancaman yang terlalu besar sehingga mengharuskan gereja menghentikan persekutuan sebagai umat Tuhan.
Fakta-Fakta COVID
Tingkat kematian akibat COVID sama sekali tidak mendekati prediksi awal yang mengerikan. Di awal tahun 2020, sebagian besar penetap kebijakan mengutip prediksi dari seorang peneliti bernama Neil Ferguson, seorang profesor di Imperial College London. Ferguson dengan yakin meramalkan bahwa lebih dari 2,2 juta orang di Amerika Serikat akan meninggal karena COVID dalam waktu tiga bulan. Meskipun prediksi itu dengan segera terbukti terlalu berlebihan, pejabat pemerintah terus mengutip model Ferguson sebagai alasan untuk memperpanjang lockdown. Alih-alih mengakui bahwa COVID-19 bukanlah pandemi hari kiamat seperti yang telah dinubuatkan banyak orang, mereka mengklaim jumlah yang berkurang adalah bukti bahwa lockdown membantu.
Untuk menempatkan fakta-fakta ini dalam perspektif: Model Ferguson meramalkan bahwa lebih dari 81 persen orang Amerika akan terinfeksi oleh virus ini, dan setidaknya 1 persen dari mereka yang terinfeksi akan mati. Itu melebih-lebihkan estimasi tingkat keparahan virus. Lebih dari delapan belas bulan kemudian, statistik kumulatif untuk negara bagian California menunjukkan bahwa kurang dari 12 persen telah dites positif terkena virus, dan tingkat kematian di antara orang yang terinfeksi hanya sekitar sepersepuluh dari apa yang diprediksi oleh model Ferguson.
Lebih dari itu, angka-angka yang tercatat saat ini cenderung ditambah-tambah dan tentu saja terlalu dibesar-besarkan oleh media dibandingkan dengan epidemi flu baru-baru ini, serta wabah SARS dan MERS. Para peneliti sejak awal mengakui bahwa pola laporan dan statistik yang berlebihan menimbulkan ketakutan masyarakat dan menyebabkan pengeluaran kebijakan pemerintah yang buruk. Sebuah makalah yang diterbitkan pada bulan April 2020 oleh Perpustakaan Kedokteran Nasional AS di National Institutes of Health (NIH) mencantumkan selusin cara laporan media yang salah, berbau sensasi, dan berlebih-lebihan yang mengakibatkan sulitnya menilai situasi COVID secara objektif. Sebagian dari makalah tersebut menyatakan, “Wabah virus corona tahun ini adalah wabah pertama yang mendapat perhatian begitu besar. Media telah menunggangi rasa ingin tahu, ketidakpastian, dan ketakutan…. Virus corona lain mungkin telah menginfeksi jutaan orang dan telah membunuh ribuan orang. Namun, baru tahun ini setiap kasus dan setiap kematian mendapat perhatian seperti alarm bahaya yang ditayangkan oleh kantor-kantor berita.”
Tingkat kematian anak-anak akibat COVID jauh lebih rendah dari flu biasa. Lebih dari delapan belas bulan setelah hampir semua sekolah di negara ini ditutup (dan banyak yang masih belum buka), Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) menghitung lebih dari 400 anak muda (0–17 tahun) yang meninggal karena COVID. Sebagai perbandingan, hanya dalam waktu enam bulan pada puncak musim flu 2017–18, diperkirakan 643 dari kelompok usia yang sama meninggal karena flu—artinya penyakit flu biasa sekitar lima kali lebih mematikan bagi anak-anak daripada COVID-19.
Korban penembakan anak-anak di Chicago saja telah jauh melebihi jumlah kematian anak-anak akibat COVID di seluruh negara bagian Illinois. Dalam delapan bulan pertama tahun 2021, 35 anak meninggal karena kekerasan senjata di Chicago. Di seluruh negara bagian selama rentang waktu yang sama, 15 anak meninggal karena COVID.
Sementara itu, kebijakan lockdown yang diberlakukan pemerintah telah menjadi bencana besar bagi kesehatan mental anak-anak. Pembatasan keras yang dikenakan pada aktivitas masa kanak-kanak yang umum menghambat perkembangan fisik, spiritual, dan intelektual normal setiap anak. Oleh karena itu, penutupan gereja, sekolah, tempat bermain, dan bahkan pantai malah mengakibatkan kerusakan yang jauh lebih parah terhadap kondisi anak-anak daripada akibat COVID dengan berlipat ganda. Menurut CDC, kasus pencobaan bunuh diri oleh anak perempuan berusia 12-17 tahun naik 50,6 persen dalam kurun waktu 21 Februari hingga 20 Maret 2021. Hampir semua anak sekolah umum telah kehilangan lebih dari satu tahun pengajaran tatap muka, dan sejumlah kesehatan fisik dan mental lainnya juga meningkat dengan margin besar. Sejumlah besar informasi statistik yang tersedia menunjukkan bahwa di antara anak-anak dan remaja, lockdown telah menyebabkan peningkatan dramatis dalam kecanduan narkoba, alkohol, depresi, menyakiti diri sendiri, dan dorongan tidak sehat lainnya—termasuk gangguan makan, gangguan tidur, kemelekatan3, lekas marah, dan ketakutan yang berlebihan.
Statistik nasional juga mengungkapkan peningkatan tajam dalam kekerasan rumah tangga dan pelecehan anak (termasuk penelantaran) selama karantina COVID.
Singkatnya, sementara COVID-19 bukanlah pandemi yang seganas perkiraan semula, lockdown telah sangat menghancurkan kesehatan masyarakat di berbagai aspek.
Untuk lebih jelasnya: COVID memang virus yang berbahaya bagi orang-orang dalam demografi tertentu. Virus ini dapat menyebabkan gangguan paru-paru, ginjal, dan kardiovaskular yang serius (berpotensi fatal), terutama di antara mereka yang berusia lanjut, lemah, obesitas, atau menderita penyakit penyerta lainnya (komorbiditas). Tetapi ancaman yang ditimbulkan dari COVID terhadap masyarakat umum bukanlah keadaan yang cukup darurat untuk memerintahkan karantina bagi orang sehat, isolasi dan pengurungan anak-anak, penutupan permanen perusahaan-perusahaan yang tak terhitung jumlahnya, kehancuran seluruh ekonomi, atau penghentian kegiatan ibadah dan persekutuan tatap muka.
Masyarakat telah berulang kali dicekoki informasi yang salah dari media dan pejabat pemerintah—tidak hanya tentang COVID, tetapi juga untuk hal-hal lainnya. Pada bulan Maret 2020, Dr. Anthony Fauci, Kepala Penasihat Medis untuk Gedung Putih, mengatakan di acara “60 Menit” bahwa memakai masker tidak akan membantu memperlambat penyebaran virus dan bahkan dapat merugikan pemakainya. “Tidak ada alasan untuk berjalan-jalan dengan masker,” katanya. “Seringkali ada konsekuensi yang tidak diinginkan—orang-orang terus mengutak-atik masker dan mereka terus menyentuh wajah mereka.” Ketika Fauci berbalik posisi beberapa bulan kemudian, dia menjelaskan bahwa dia tidak menganjurkan penggunaan masker karena dia tidak ingin mengatakan apa pun yang dapat mengurangi pasokan masker bagi pekerja medis. Dalam sebuah wawancara dengan majalah InStyle, dia berkata, “Kami diberitahu dalam rapat-rapat gugus tugas bahwa kami memiliki masalah serius dengan kurangnya APD dan masker bagi penyedia layanan kesehatan.” Dia menunjukkan bahwa satgasnya telah bertemu dan setuju untuk tidak berterus terang kepada publik. Dari kata-kata Fauci sendiri, kekhawatiran tentang kekurangan masker “membuat kita semua, bukan hanya saya bahkan [Surgeon General AS] Jerome Adams, untuk mengatakan, ‘Saat ini kita benar-benar perlu memberikan masker untuk orang-orang yang paling membutuhkannya.’” Itu adalah pengakuan bahwa prioritas utama dari pejabat kesehatan bukanlah menyampaikan kebenaran; melainkan kebijakan publik (public policy).
Pada bulan Januari 2021, Fauci menyarankan orang-orang untuk memakai masker berlapis-lapis.
Pertanyaan mendasar tentang asal muasal virus COVID-19 entah sengaja ditutup-tutupi atau ditangani dengan sembrono pada tahun 2020 oleh Dr. Fauci dan para ilmuwan terkemuka lainnya, pejabat pemerintah, departemen kesehatan, dan kantor-kantor berita. Pada saat itu, akal sehat dan fakta yang sudah ada menunjukkan apa yang para pejabat tidak ingin masyarakat untuk tahu—yaitu, bahwa virus itu berasal dari Institut Virologi Wuhan. Banyak ahli sekarang mengakui bahwa mungkin dari situlah virus itu berasal. Tetapi selama hampir satu tahun penuh, mereka yang bahkan menduga jika virus itu berasal dari lab Wuhan secara otomatis dibungkam atau ditekan di hampir semua forum ilmiah, akademik, dan forum-forum media sosial.
Dr. Fauci juga memberikan jawaban yang menyesatkan dan jawaban yang kemungkinan palsu dalam kesaksian di atas sumpah di hadapan Kongres ketika ditanya tentang bagaimana dana pajak dari rakyat AS digunakan untuk mendanai penelitian di laboratorium di Wuhan.
Vaksin mulai tersedia menjelang akhir tahun 2020. Selama berminggu-minggu, pejabat-pejabat kesehatan meyakinkan masyarakat bahwa vaksin baru itu efektif dan kehidupan akan segera kembali normal tanpa masker. Tetapi pada bulan Juli 2021, CDC mengeluarkan satu laporan yang menyatakan, “Bukti yang muncul menunjukkan bahwa orang yang telah divaksinasi penuh dan terinfeksi varian Delta berisiko menularkannya kepada orang lain; oleh karena itu, CDC juga merekomendasikan agar orang yang sudah divaksinasi penuh tetap memakai masker di tempat umum di dalam ruangan di tempat-tempat yang memiliki risiko penularan yang tinggi.” Alih-alih memberikan data untuk mendukung opini yang direvisi, dokumen CDC memberikan kutipan ini: “Tim Penanggulangan COVID-19 CDC, data tidak dipublikasikan, 2021.”
Kita sekarang memiliki banyak bukti (termasuk data dari laporan CDC sendiri) bahwa vaksin-vaksin ini tidak berfungsi seperti yang diiklankan. Pada bulan September 2021, 70 persen penduduk California telah divaksinasi, tetapi jumlah orang yang dites positif di seluruh negara bagian ini masih terus bertambah. Pada bulan Agustus 2021, 364 orang di Duke University dinyatakan positif terkena virus. Hanya 8 orang yang tidak divaksinasi. Sisanya—356 orang—telah divaksinasi penuh tetapi tetap terinfeksi virus. Respon dari pihak universitas adalah dengan memperketat mandat masker mereka.
Anehnya, di komunitas kita, orang-orang yang tampaknya paling takut terhadap virus ini adalah mereka yang telah divaksinasi—banyak dari mereka sekarang menuntut lebih banyak mandat masker dan pembatasan-pembatasan baru—yang menunjukkan bahwa mereka tidak percaya bahwa vaksinasi akan melindungi mereka seperti yang dijanjikan sebelum mereka menerimanya.
Tidak heran. Sumber-sumber yang diakui sebagai suara otoritas yang dapat diandalkan telah berulang kali menunjukkan bahwa mereka sendiri tidak dapat dipercaya. Kepala negara yang memberlakukan aturan-aturan pada rakyat sementara mereka sendiri menolak untuk tunduk. Aturan-aturan tersebut tiba-tiba berubah hanya berdasarkan keinginan seseorang. Ternyata “ilmu pengetahuan” pun tidak terlalu bisa diandalkan. Bahkan ada alasan untuk meragukan keakuratan dari tes COVID.
Sumber media utama sudah terkenal bias dan tidak akurat. Narasi yang secara agresif digembar-gemborkan oleh media tentang hal ini (dan hampir semua perihal yang berbau politik) seringkali terbukti salah.
Perusahaan-perusahaan farmasi besar, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS4 (FDA), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan bermacam-macam tokoh-tokoh yang berpengaruh di pemerintahan dan media telah secara aktif berusaha menekan diskusi tentang kegunaan obat-obatan seperti Ivermectin, chloroquine, dan hydroxychloroquine sebagai pengobatan dini untuk COVID-19—meskipun banyak dokter telah melaporkan bahwa mereka berhasil menggunakan obat-obatan tersebut. Sudah ketahuan bahwa perdebatan tentang obat-obatan ini (lebih tepatnya: kurangnya pertukaran informasi terbuka tentang obat-obatan ini) sebagian besar didorong oleh faktor ekonomi dan politik, bukan studi-studi ilmiah. Faktanya, WHO menghentikan studi-studi dari hydroxychloroquine, dan FDA mencabut Otorisasi Penggunaan Darurat5 untuk obat tersebut hanya beberapa hari setelah Presiden Trump mengumumkan obat itu berhasil digunakan untuk mengobatinya dari COVID.
Dukungan dan tolakan terhadap vaksinasi telah berubah bersamaan dengan transisi dari satu partai politik ke partai berikutnya di Oval Office6. Pada tahun 2020, Demokrat secara terang-terangan menghina upaya dari Donald Trump untuk mengembangkan vaksin dengan cepat, mengatakan mereka akan menolak vaksinasi apa pun yang direkomendasikan oleh Presiden Trump. Namun tak lama kemudian setelah seorang Demokrat menduduki Gedung Putih, tiba-tiba mereka mulai melobi untuk mandat nasional dan paspor vaksinasi.
Perhatikan juga, bahwa hampir tidak pernah disinggung oleh pejabat kesehatan atau dilaporkan oleh media mengenai kekebalan alami yang didapatkan setelah seseorang terinfeksi oleh virus dan sembuh. Kekebalan alami adalah rancangan dari Tuhan untuk perlindungan kita. Bersifat kuat, awet, dan tahan lama. Begitulah cara kita biasanya bertahan dan menangkal penyakit di dunia dengan bahaya mikroskopis. Tetapi untuk menyarankan bahwa kekebalan alami adalah perlindungan yang cukup terhadap infeksi ulang akan mengacaukan upaya mandat vaksin universal.
Propaganda yang berdasarkan ideologi dan tekanan pemerintah secara rutin dibarengi dengan upaya perusahaan-perusahaan Big Tech7 untuk membungkam semua pendapat yang berbeda. Sementara itu, di sebagian besar dunia Barat, lembaga pemerintah telah bekerja sama dengan media untuk menumbuhkan permusuhan terbuka terhadap nilai-nilai Alkitabiah selagi secara aktif mempromosikan normalisasi aborsi, homoseksualitas, transgenderisme, dan berbagai serangan lain terhadap struktur keluarga. Tidak heran jika kepercayaan publik terhadap pemerintah dan media telah terkikis parah selama dekade terakhir.
Orang yang berakal sehat tahu bahwa mereka telah dibohongi. Mereka mengenali cara-cara indoktrinasi. Ketika apa yang dianggap “kebenaran” terus-menerus berubah, itu menjadi penghinaan terhadap kecerdasan masyarakat untuk berpikir bahwa mereka menelan begitu saja setiap klaim kebenaran baru yang diajukan oleh lembaga-lembaga dan institusi-institusi yang sering menyelewengkan atau jelas-jelas menyangkal kebenaran.
Bagaimana Seharusnya Gereja Menanggapi?
Ketidaksepakatan yang sengit telah berputar di antara kaum evangelis sejak bulan Maret 2020 mengenai bagaimana gereja harus menanggapi pembatasan COVID yang dimandatkan pemerintah. Perselisihan pendapat hanya menambahkan kebingungan orang-orang Kristen yang sudah dibingungkan oleh laporan-laporan media yang saling bertentangan. Hal ini telah menghasilkan badai pertengkaran di media sosial. Dan itu telah menyebabkan perpecahan yang tidak diharapkan di gereja-gereja. Anehnya, beberapa pemimpin evangelis yang sama yang bersikeras bahwa gereja harus ditutup atas perintah negara, mereka juga menerbitkan esai-esai yang menegaskan tugas dan prioritas ibadah jemaat. Tidak heran para jemaat gereja menjadi semakin bingung.
Berikut ini adalah empat ajaran yang tidak dapat ditawar-tawar tentang kehidupan bergereja yang selalu benar tetapi terlihat sangat relevan untuk keadaan saat ini. Setiap jemaat yang sehat dan berprinsip kepada Alkitab harus menegaskan prinsip-prinsip ini tanpa ketidakpastian atau keragu-raguan:
Gereja harus berdiri teguh berdasarkan kebenaran. Kitab Suci mengatakan gereja adalah “tiang penopang dan dasar kebenaran” (1 Timotius 3:15). Dalam peran itu kita sering dijepit dengan opini terpopuler dan narasi dari media. Ini adalah tugas yang biasanya lebih memerlukan ketegasan daripada pendekatan secara halus.
Akan menjadi dosa karena kelalaian bagi gereja mana pun untuk tetap pasif atau patuh ketika arus informasi yang salah mendominasi opini populer dan dengan sengaja menimbulkan kecemasan. Apa yang membuat kasus saat ini menjadi genting adalah cara dari para pejabat yang dengan sengaja memicu kecemasan publik dengan propaganda yang tidak henti-hentinya, kemudian mengeksploitasi ketakutan publik untuk merasionalisasikan pelarangan ibadah umum—bahkan ketika bar, klub tari telanjang, dan kasino tetap buka—dan para demonstran politik radikal8 diizinkan untuk berkerumun di jalan-jalan.
Jika kita benar-benar percaya Kitab Suci, kita tidak dapat secara otomatis mengikuti nilai-nilai dan kepercayaan yang berlaku di seluruh dunia—terutama di dalam budaya (seperti budaya kita) di mana kebenaran Alkitab terus-menerus diserang, ketidakpercayaan militan mendominasi wacana publik, dan ideologi jahat secara rutin mempengaruhi kebijakan publik. Umat Allah harus berjuang dengan sungguh-sungguh untuk iman. Kita harus secara agresif terlibat dalam pertempuran untuk membebaskan orang dari setiap kepalsuan dan setiap argumen keangkuhan manusia yang diajukan untuk menentang pengenalan akan Allah (2 Korintus 10:4–5). Dan kita harus ingat bahwa “hikmat dunia ini adalah kebodohan di hadapan Allah” (1 Korintus 3:19).
Memang, kebanyakan orang saat ini bahkan tidak percaya bahwa kebenaran dapat diketahui secara mutlak. Tidak ada yang dianggap benar secara otoritatif; kebenaran itu sendiri dilihat hanya sebagai masalah pilihan pribadi. Model skeptisisme seperti itu sudah menyerap ke dalam media berita, politik, dunia akademis sekuler, industri hiburan, dan kepercayaan agama kebanyakan orang.
Orang Kristen yang percaya Alkitab, di sisi lain, tahu bahwa Firman Tuhan tidak hanya sepenuhnya benar; itu adalah standar mutlak dimana semua klaim kebenaran yang lain harus diuji. Kekristenan dimulai dengan keyakinan ini. Yesus menegaskannya dalam doa-Nya sebagai Imam Besar: “Firman-Mu adalah kebenaran” (Yohanes 17:17). Mazmur menyatakannya berulang kali: “Peraturan Tuhan itu teguh, memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman” (Mazmur 19:7). “Firman Tuhan adalah janji yang murni; bagaikan perak yang teruji, tujuh kali dimurnikan dalam dapur peleburan di tanah” (Mazmur 12:6). Firman Tuhan lebih pasti dan lebih dapat dipercaya daripada kesaksian lainnya. Siapa yang tidak memiliki pandangan yang menjunjung tinggi akan Kitab Suci bukanlah pengikut Kristus yang sejati.
Sekali lagi, orang Kristen sejati tidak dapat membiarkan pendapat mayoritas atau keputusan pemerintah menentukan apa yang kita percaya, khususnya di jaman seperti ini. Barangsiapa yang mengerti Alkitab walaupun sedikit dapat melihat bahwa masyarakat Barat telah dengan sengaja masuk ke dalam kubangan kotoran dan ketidakpercayaan yang sangat dalam, seperti yang digambarkan di surat Roma 1:22-25: “Mengaku sebagai orang penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh. Mereka menggantikan kemuliaan Allah yang tidak fana dengan gambaran… [Dan] mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta.”
Bagian ini selanjutnya menguraikan dengan tepat apa yang kita lihat sedang terjadi dalam masyarakat di dunia Barat. Dan inti dari teks Alkitab adalah bahwa kehancuran moral ini adalah penghakiman dari Tuhan terhadap budaya yang sudah terlalu bejat:
Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar. Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka. Dan karena mereka tidak merasa perlu untuk mengakui Allah, maka Allah menyerahkan mereka kepada pikiran-pikiran yang terkutuk, sehingga mereka melakukan apa yang tidak pantas: penuh dengan rupa-rupa kelaliman, kejahatan, keserakahan dan kebusukan, penuh dengan dengki, pembunuhan, perselisihan, tipu muslihat dan kefasikan. Mereka adalah pengumpat, pemfitnah, pembenci Allah, kurang ajar, congkak, sombong, pandai dalam kejahatan, tidak taat kepada orang tua, tidak berakal, tidak setia, tidak penyayang, tidak mengenal belas kasihan. Sebab walaupun mereka mengetahui tuntutan-tuntutan hukum Allah, yaitu bahwa setiap orang yang melakukan hal-hal demikian, patut dihukum mati, mereka bukan saja melakukannya sendiri, tetapi mereka juga setuju dengan mereka yang melakukannya.
(Roma 1:26-32)Gereja-gereja haruslah menjadi tempat yang terakhir di dunia ini dimana para penyeleweng dapat mencari persetujuan atas nilai-nilai tidak bermoral, kebenaran yang setengah-setengah, tipu muslihat, dan penyalahgunaan wewenang secara tirani.
Sukacita, bukan ketakutan, harus mendominasi persekutuan orang-orang percaya. Perjanjian Baru penuh dengan perintah dan dorongan bagi orang Kristen untuk memelihara rasa sukacita, bahkan di tengah-tengah penganiayaan dan kesulitan. “Bersukacitalah senantiasa” (1 Tesalonika 5:16). “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” (Filipi 4:4). Salah satu tanda dari gereja yang setia adalah bahwa mereka “bersukacita dalam pengharapan” (Roma 12:12), tidak meringkuk dalam ketakutan.
Takut akan kematian adalah perbudakan yang kejam, dan karena hal itulah Kristus datang untuk membebaskan kita. Tujuan dari inkarnasi Kristus adalah agar “Ia memusnahkan dia, yaitu Iblis, yang berkuasa atas maut; dan supaya dengan jalan demikian Ia membebaskan mereka yang seumur hidupnya berada dalam perhambaan oleh karena takutnya kepada maut” (Ibrani 2:14). Sebagai orang Kristen, kita “tidak lagi menerima roh perbudakan yang membawa ketakutan” (Roma 8:15).
Ketika jemaat Grace Community Church berkumpul untuk beribadah dengan menentang perintah lockdown dari negara, hampir semua pengamat (termasuk wartawan dan pejabat kesehatan yang tidak tentu bersimpati dengan posisi gereja) berkomentar tentang kesukacitaan yang terlihat di dalam kebaktian-kebaktian kami. Terlepas dari ancaman-ancaman dan siasat hukum yang diajukan terhadap gereja setiap minggu, semangat kebaktian kami sangat penuh sukacita—tidak marah-marah, cemas, atau khawatir. Demikianlah yang seharusnya terjadi. “Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban” (2 Timotius 1:7).
Dalam dunia yang bermasalah saat ini, ketakutan terus-menerus telah dibuat seolah-olah menjadi normal, bahkan sebagai sesuatu yang mulia. Hidup telah menjadi semata-mata menghindari risiko. Tetapi memelihara ketakutan semacam itu, terutama atas perintah pemerintah, akan menimbulkan bahaya besar bagi kesehatan rohani dan pelayanan gereja dalam jangka panjang. Jika anak-anak muda diajarkan bahwa melindungi hidup mereka sendiri lebih penting daripada persekutuan dan penginjilan, siapa yang akan rela pergi ke ladang misi?
Kekristenan tidak akan berkembang, dan kesaksian bersama kita akan kehilangan kredibilitas, ketika gereja meringkuk dalam ketakutan. Orang Kristen harus bisa menikmati kebebasan dari ketakutan akan kematian, harapan di tengah-tengah kesengsaraan, dan sukacita dan kegembiraan di dalam segala keadaan.
Awan gelap yang mengandung kesedihan dan kecemasan yang dibawa COVID ke seluruh dunia memberikan suatu peluang luar biasa bagi gereja—tetapi hanya jika jemaat dapat menolak memakai kerangka berpikir yang saat ini menguasai budaya kita.
Kita harus “tekun memelihara kesatuan Roh dalam ikatan damai sejahtera” (Efesus 4:3). Krisis COVID telah (dan terus menjadi) sumber perpecahan dan konflik yang sengit di gereja-gereja yang seharusnya sehat. Sangat tidak masuk akal dan sangat meresahkan jika ada pemimpin gereja yang menganggap COVID sebagai ancaman yang lebih besar bagi gereja daripada perpecahan gereja. Para peneliti mengatakan tingkat kesembuhan untuk mereka yang terinfeksi virus mencapai 99,75 persen. Banyak yang dites positif COVID tidak memiliki gejala sama sekali. Sebagian besar yang menunjukkan gejala hanya sakit ringan.
Namun beberapa pemimpin gereja mengatakan mereka akan melarang jemaat untuk hadir jika mereka tidak dapat menunjukkan bukti vaksinasi. Yang lain mengucilkan jemaat yang tidak memakai masker atau tidak divaksinasi. Jadi mereka benar-benar membangun kembali tembok pemisah di antara kelompok-kelompok orang percaya yang berbeda, menentang prinsip dari Efesus 2:11–22.
Banyak data menunjukkan secara pasti bahwa masker dari kain tidak dapat menghentikan penyebaran virus. Ada alasan kuat untuk berpikir bahwa bahaya dari penggunaan masker secara terus-menerus malah lebih besar daripada manfaat apa pun yang mungkin didapat dari masker tersebut. Meskipun demikian, pemakaian masker menjadi simbol yang paling nyata dan universal dari era COVID. Ini juga merupakan instrumen utama untuk virtue signaling9 di antara mereka yang paling takut akan virus COVID. Di beberapa kalangan, masker berfungsi sebagai jubah agama versi sekuler. Mereka telah menjadi simbol populer utama pengabdian suci budaya terhadap kredo keduniawian.
Dalam konteks persekutuan gereja, masker jelas-jelas menjadi penghalang saat puji-pujian jemaat, persekutuan tatap muka, dan interaksi antar manusia secara normal. Terlepas dari itu, pemakaian masker di dalam gereja harus diatur sepenuhnya sebagai pilihan hati nurani setiap pribadi. Gereja tidak boleh membakukan aturan perilaku yang tidak memiliki dasar di dalam Kitab Suci. Mengenai semua hal yang tidak disebutkan baik secara eksplisit atau dengan ajaran dalam Kitab Suci, “setiap orang benar-benar yakin dalam hatinya sendiri” (Roma 14:5). Tentang hal-hal di mana hukum Tuhan diam, “Siapakah engkau, sehingga engkau mau menghakimi sesamamu manusia?” (Yakobus 4:12).
Prinsip-prinsip yang sama juga berlaku untuk vaksin. Jika vaksin efektif, maka mereka yang telah divaksinasi tidak perlu takut terhadap paparan dari mereka yang belum divaksinasi. Ironisnya, seperti yang sudah disinggung di atas, orang-orang yang paling ketakutan saat ini adalah mereka yang telah divaksinasi. Tetapi keamanan dan keefektifan vaksin adalah persoalan lain yang jelas-jelas masih diperdebatkan.
Vaccine Adverse Event Reporting System10 (VAERS) dari CDC didirikan untuk mengumpulkan data statistik tentang efek samping dan krisis kesehatan yang dialami masyarakat setelah divaksinasi. Pada tahun 1976, ketika tiga orang meninggal setelah menerima vaksinasi flu babi, sembilan negara bagian segera menghentikan program imunisasi. Sembilan bulan setelah vaksin COVID tersedia, VAERS telah menerima 7.899 laporan tentang orang-orang yang meninggal setelah divaksinasi. Namun demikian, halaman web CDC yang sama yang melaporkan angka-angka itu mengawali laporan dengan pernyataan, “Vaksin COVID-19 aman dan efektif.”
Seorang ahli virologi terkemuka mengatakan, “Analisis ilmiah dari data dari uji klinis penting untuk vaksin COVID-19 AS menunjukkan vaksin gagal menunjukkan manfaat kesehatan apa pun dan pada kenyataannya, semua vaksin menyebabkan penurunan kesehatan pada kelompok yang diimunisasi.” Setelah melaporkan persentase tertinggi penduduk yang telah menerima booster ketiga, Israel memiliki tingkat infeksi yang mencetak rekor. Mongolia mencatat kurang dari 1.000 kasus COVID dalam sembilan bulan pertama tahun 2020 (termasuk yang terendah di dunia), tetapi tingkat infeksi melonjak tajam setahun kemudian, setelah pemerintah Mongolia “memberikan lebih banyak suntikan COVID-19 terhadap populasinya lebih banyak dibandingkan negara mana pun di Asia.” Jadi sekali lagi, vaksin bahkan jelas-jelasan tidak bisa memberikan kekebalan terhadap COVID.
Namun demikian, beberapa pembuat kebijakan di departemen kesehatan di seluruh negeri merekomendasikan mandat vaksinasi universal tanpa pengecualian (bahkan bagi mereka yang sudah terinfeksi virus dan memperoleh kekebalan alami). Gubernur dan pejabat kesehatan setempat berniat meminta gereja untuk memantau dan menegakkan kepatuhan masyarakat.
Apa tugas gereja dalam keadaan seperti itu?
Pertanyaan perlu tidaknya bagi seseorang mendapatkan vaksin harusnya merupakan keputusan pribadi untuk setiap individu dan dokternya. Ini bukan menjadi urusan di mana gereja atau pemerintah perlu ikut campur, terlebih lagi dengan menggunakan kuasa hukum. Keputusan medis pribadi bukanlah sesuatu yang wajib kita serahkan kepada kaisar, dan gereja tidak boleh menjadi lembaga penegak hukum bagi kaisar.
Jika gereja menuntut bukti vaksinasi berarti gereja menetapkan standar legalistik yang tidak ada wewenangnya dalam Kitab Suci. Sekali lagi, gereja adalah tempat di mana umat Allah berkumpul menjadi satu, tanpa menghakimi satu sama lain atas hal-hal yang menyangkut hati nurani. Dan masalah masker dan vaksin tidak lain merupakan urusan hati nurani pribadi. Jadi pilihan apakah mau divaksinasi atau tidak dan apakah akan memakai masker atau tidak harus diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing orang (Roma 14:1–23 ; 15:7).
Sekelompok orang percaya bukanlah sebuah “gereja” jika mereka tidak berkumpul. Kata untuk “gereja” dalam naskah asli Perjanjian Baru adalah ekklēsia. Bahkan sebelum berdirinya gereja Perjanjian Baru, kata itu menandakan perkumpulan, kumpulan orang. Ini terdiri dari dua akar bahasa Yunani yang secara harafiah berarti “dipanggil,” dan lebih khusus lagi, ini mengacu pada sekelompok orang yang dipanggil keluar dari rumah mereka (atau dipanggil keluar dari kelompok yang lebih besar) untuk berkumpul bersama. Seperti kata dalam bahasa Inggris, congregation (jemaat), konsep sekelompok yang datang bersama-sama sudah langsung mengandung arti demikian di dalam istilah tersebut.
Gereja secara khusus berkumpul untuk beribadah, tetapi manfaat penting dari pertemuan itu termasuk persekutuan, pengajaran, saling membangun, dan akuntabilitas. Orang-orang percaya diperintahkan untuk tidak meninggalkan pertemuan-pertemuan ibadah (Ibrani 10:25), dan perintah itu diberikan langsung sebelum peringatan paling keras akan kemurtadan di dalam Perjanjian Baru.
Oleh karena itu, persekutuan dan penyembahan bersama merupakan aspek yang mutlak penting bagi kesehatan rohani orang-orang Kristen, dan mereka juga (jelas) sangat penting bagi kehidupan gereja.
Orang-orang percaya bisa dikarenakan penyakit, dipenjarakan, peperangan, bencana alam, melakukan perjalanan yang diperlukan, atau mengalami keadaan darurat penting lainnya yang menyebabkan untuk sementara waktu tidak bisa menghadiri persekutuan bersama. Tetapi tidak ada pembenaran untuk mengkarantina orang-orang yang sehat, dan tentu saja tidak ada perintah yang memaksa seluruh gereja menghentikan ibadah berjemaat untuk jangka panjang. Wabah, pandemi, dan penganiayaan telah sering (jika bukan terus-menerus) mengancam umat Allah sejak Pentakosta pertama. Tidak pernah gereja-gereja yang setia menanggapi tantangan-tantangan seperti itu hanya dengan menutup pintu selama berbulan-bulan dan menyatakan teknologi belajar jarak jauh sebagai pengganti yang memadai bagi ibadah bersama.
Orang-orang Kristen di Amerika dan negara-negara demokrasi Barat lainnya telah diberkati dan diberikan hak istimewa untuk berkembang selama lebih dari dua abad di bawah pemerintahan yang secara resmi menegaskan dan jarang menentang hak para jemaat untuk berkumpul secara bebas. Tetapi COVID adalah panggilan yang membangunkan dan mengingatkan orang-orang percaya betapa rapuhnya kebebasan itu. Pendeta-pendeta di negara-negara yang seharusnya bebas telah dipenjara selama berminggu-minggu karena mereka memimpin kebaktian selama masa lockdown di tahun 2020. Terlepas dari keputusan pengadilan yang memihak gereja, arus opini publik yang kuat mendukung untuk memberikan lebih banyak kuasa kepada pemerintah dalam memaksa gereja mematuhi pembatasan yang menghambat kehadiran, persekutuan, dan nyanyian jemaat. Banyak juga yang berpikir gereja harus dipaksa untuk mengharuskan paspor vaksin dan pemisahan yang ketat antara jemaat yang divaksinasi dan yang tidak divaksinasi.
Sekali lagi, perlawanan dunia terhadap gereja dan ajarannya seharusnya tidak membuat orang-orang percaya lengah. “Janganlah kamu heran, saudara-saudara, apabila dunia membenci kamu” (1 Yohanes 3:13). Yesus berkata, “Tetapi karena kamu bukan dari dunia … dunia membenci kamu” (Yohanes 15:19). Kita adalah warga negara surga—hanya pendatang dan orang asing di dunia ini (Filipi 3:20). Dan bahkan dunia pun melihat gereja seperti itu ketika kita setia kepada panggilan kita.
Itulah salah satu alasan utama mengapa umat Allah perlu berkumpul secara teratur untuk saling menguatkan dan memberi petunjuk—dan terlebih lagi saat kita melihat hari Kristus semakin dekat (Ibrani 10:25). Masa-masa krisis dan kesulitan tidak membuat persekutuan gereja boleh diabaikan begitu saja; (justru) saat itulah yang paling penting bagi orang percaya untuk berkumpul. “Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia” (Kisah Para Rasul 5:29).
Gereja-gereja yang setia harus berkumpul bahkan jika perlu mereka melakukannya di bawah tanah. Begitulah cara gereja-gereja dalam tiga abad pertama bertahan dan berkembang meskipun ditentang keras oleh kaisar. Begitulah cara gereja di Eropa Timur mengatasi penganiayaan komunis di abad kedua puluh. Itu adalah cara banyak gereja di Cina dan di tempat lain yang bertemu bahkan sampai hari ini.
Kitab Suci memberikan beberapa contoh tentang orang-orang suci yang menentang tirani dari penguasa yang tidak takut Tuhan dan membenci kebenaran Alkitab. Di bawah Firaun yang lalim, bidan-bidan Ibrani “takut akan Tuhan, dan tidak melakukan seperti yang diperintahkan Firaun kepada mereka” (Keluaran 1:17). Elia menentang Ahab dan dicap sebagai “biang kerusuhan Israel” karena sikap yang diambilnya (1 Raja-raja 18:17). Yohanes Pembaptis menegur Herodes dan akhirnya dibunuh (Markus 6:18-29).
Umat Kristen di Barat sekarang perlu memiliki tekad yang sama—dan mempersiapkan diri dalam menghadapi lebih banyak tekanan dari pemerintah dan lebih banyak penganiayaan dari anggota masyarakat lainnya. Saat COVID telah berlalu (jika memang terjadi), krisis lain sudah siap untuk dieksploitasi oleh para pejabat pemerintah, memanfaatkan “kekuasaan darurat” untuk menggunakan semakin banyak kuasa untuk mengontrol gereja. Kekhawatiran akan perubahan iklim, kampanye untuk menormalkan penyimpangan seksual, penerapan abal-abal untuk “keadilan sosial”, dan sejumlah perubahan ideologis besar lainnya telah dengan cepat dan dramatis mengubah suasana di setiap negara-negara demokrasi di Barat. Beberapa orang yang sekarang memegang kekuasaan dalam mengeluarkan kebijakan umum percaya bahwa Injil dan kebenaran-Nya adalah bentuk dari "hate speech."11 Gereja-gereja di belahan dunia ini telah kehilangan banyak kebebasan azasi pribadi.
Sekarang bukan saatnya kita meninggalkan persekutuan bersama-sama. Gereja harus menjadi gereja—sebuah pilar dan penopang kebenaran. Kita tidak boleh meringkuk dalam ketakutan. Kita tidak bisa menyembunyikan cahaya kita di bawah gantang. Kita tidak dipanggil untuk menambah-nambah ketakutan di dunia yang sedang berjalan menuju kepada kebinasaan. Kita telah ditugaskan untuk “pergi ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada semua ciptaan” (Markus 16:15), dan kita adalah tentara-tentara di dalam suatu peperangan rohani. “Senjata perang kita bukan dari daging, melainkan senjata yang diperlengkapi dengan kuasa Allah, yang sanggup menghancurkan benteng-benteng. Kita mematahkan setiap siasat orang dan merubuhkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengetahuan tentang Allah, dan kita menawan segala pikiran dan menaklukkannya di bawah ketaatan kepada Kristus” (2 Korintus 10:4-5).
Sudah waktunya bagi gereja Yesus Kristus untuk menentang kepalsuan yang merajalela di masyarakat yang bejat dan menunjukkan kepada orang-orang yang putus asa jalan menuju ke pengharapan sejati dan kehidupan yang berlimpah. Kita adalah wakil-wakil Tuhan, dan kita harus berdiri tegar dengan keyakinan akan panggilan kita, dengan sukacita dan bukan rasa takut, dalam kesatuan yang tegas—dan terlebih lagi ketika kita melihat hari kedatangan Kristus sudah semakin dekat.
Klik di sini untuk membaca “Kristus, Bukan Kaisar, Adalah Kepala Gereja.”
Mainstream Media (MSM). ↩︎
Ruang ibadah utama. ↩︎
Kemelekatan (atau ketergantungan) adalah keadaan seseorang yang merasa tidak bebas dalam mengambil keputusan karena merasa ditentukan oleh pilihan yang sudah dianggap mengikat. ↩︎
US Food and Drug Administration (FDA). ↩︎
Emergency Use Authorization (EUA). ↩︎
Oval Office di Gedung Putih. ↩︎
Teknologi Besar. Perusahaan-perusahaan besar dalam bidang teknologi seperti Twitter, Facebook, Google, Amazon dan lain-lain. ↩︎
Demonstrasi dari Black Lives Matter (BLM). ↩︎
Upaya dari seseorang di depan publik untuk meningkatkan citra diri dan dinilai sebagai orang yang peduli dan bermoral. ↩︎
Terjemahan harafiah: Sistem laporan peristiwa buruk/merugikan (dari) vaksin atau lebih dikenal sebagai Kanal Laporan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). ↩︎
Ujaran kebencian. ↩︎
Sumber asli
Facing COVID-19 Without Fear